Sunday, August 30, 2020

Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis

Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis
Kang Aris
Sunday, August 30, 2020

Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis


Sejarah Pemeliharaan dan Kodifikasi Hadis


A. Hadis pada Masa Rasul Saw.

Sebagai Nabi dan Rasul Allah, Muhammad Saw., dibekali berbagai keistimewaan, di antaranya adalah mukjizat al-Qur’an serta keluhuran akhlak. Selama bertugas sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad Saw. mengajarkan nilai-nilai Islam sebagai dasar pembangunan peradaban Islam yang mulia. Selain itu, sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad Saw. adalah sosok sentral, sosok  anutan bagi umat Islam di saat itu dan di kemudian hari. Apa yang Nabi Muhammad Saw. katakan  dalah
perkataan yang bernilai yang dijalankan. Apa yang Nabi Muhammad Saw. lakukan adalah sesuatu
yang baik dan kemudian dicontoh. Dan apa yanag Nabi Muhammad Saw. tetapkan adalah ketetapan
yang baik dan kemudian dipatuhi.
Bahkan dalam suatu hadis disebutkan bahwa akhlak Nabi Muhammad Saw. diidentikkan dengan Al-Qur’an. Di samping itu, Allah telah mengajarkan kepada beliau segala sesuatu yang belum diketahuinya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. telah mencapai puncak keilmuan yang belum pernah dicapai oleh manusia lain sepanjang sejarah.
Metode Rasulullah Saw. dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam adakalanya melalui perkataan (aqwāl), perbuatan (af’āl), maupun ketetapan (taqrīr). Oleh karenanya apa yang dilihat oleh ataupun disaksikan oleh para sahabat baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrīr Nabi merupakan landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka. Nabi Muhammad Saw. di mata para sahabatnya adalah idola yang paling sempurna. Rasulullah Saw. merupakan sentral kehidupan keagamaan dan keduniawian.
Pada masa Rasulullah Sawز masih hidup, perhatian para sahabat lebih terkonsentrasikan pada Al-Qur’an. Di antara para sahabat yang pandai menulis ditugasi beliau Saw untuk menulis Al-Qur’an. Penulisan Al-Qur’an pada waktu itu masih sangat sederhana yakni ditulis di atas pelepah kurma, kulit binatang, dan batu-batuan. Sedangkan hadis pada saat itu secara umum tidak tercatat. Namun hadis diterima dengan mengandalkan hapalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadis yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadis sebagimana hadis berikut:


Artinya: Diriwayatkan dari Abi Sa’d al-Khudri, Sesungguhnya Rasululla Saw. bersabda: Janganlah menulis dariku selain al-Qur’an. Barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an maka hapuslah (HR. Muslim)

Namun dalam perkembangannya, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana hadis berikut:


Artinya: Dari Rafi’ ibn Khudaij berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah bahwa sesungguhnya kami mendengarkan darimu segala sesuatu, kemudian kami menuliskannya. Kemudian Nabi bersabda:”Tulislah dan tidak ada masalah.” (HR. At-Tabarāni)

Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadis Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin as-'As (w.65 H/685 M) dengan catatannya yang diberi nama al-Ṣādiqah, Abdullah bin 'Abbas (w. 68 H/687 M), 'Ali bin Abi Ṭālib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w . 60 H), Jabir bin 'Abdullah (w. 78H/697 M), dan 'Abdullah bin Abi Auf (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadis telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut. Catatan-catatan hadis tersebut di samping sebagai dokumen bahwa pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat digunakan sebagai sarana periwayatan hadis secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadis secara tertulis pada masa ini juga pernah dilakukan.
Menurut Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadis bersifat pribadi dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadis-hadis yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafad yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafz ̣ī, dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'nā), sedang redaksinya tidak sama.
Dengan demikian, hadis Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hapalan ketimbang secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadisnya, di samping orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadis Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.

Metode Penyampaian Hadis Pada Masa Rasulullah Saw.

Perhatian para sahabat Rasul Saw. yang begitu besar terhadap al-Qur’an, tidak membuat mereka surut dalam memperhatikan keberadaan hadis. Karena kecintaan mereka terhadap al-Qur’an sama besar dengan kecintaan terhadap Rasulullah, maka merekapun berlomba-lomba melestarikan hadis Nabi. Berikut beberapa metode penyampaian hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.
kepada para sahabatnya:


1. Melalui majelis ilmu atau pengajian-pengajian.

Para sahabat selalu mendatangi pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. selalu menyediakan waktu bagi para sahabat untuk menyampaikan berbagai ajaran agama Islam. Para sahabatpun selalu berusaha mengikuti berbagai majelis yang di situ disampaikan berbagai pesan-pesan keagamaan walaupun mereka mengikuti secara bergiliran. Jika ada sahabat yang tidak bisa hadir maka disampaikan oleh sahabat-sahabat yang hadir.
Melalui cara ini, para sahabat mendapatkan peluang yang besar untuk menyerap sebanyak mungkin informasi dari Nabi Muhammad Saw. Para sahabat memiliki semangat yang tinggi dan sangat haus akan fatwa-fatwa dari Nabi Muhammad Saw.
Mereka selalu meluangkan waktu untuk hadir ke majelis ilmu Rasulullah. Bahkan sebagian sahabat ada yang rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta solusi atas permasalahan yang mereka hadapi kepada Nabi Muhammad Saw.
Di antara sahabat ada yang secara sengaja membagi tugas untuk mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.. 'Umar bin al-Khat ̣t ̣āb misalnya, membagi tugas dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad Saw. Apabila tetangganya pada suatu saat menemui Nabi, Umar ra. pada keesokan harinya demikian seterusnya. Pihak yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita dari Nabi, mereka segera menyampaikan berita tersebut kepada yang tidak bertugas. Pada saat demikian terjadi periwayatan hadis oleh sahabat dari sahabat yang lain. Hadis tidak semata-mata diriwayatkan dari Nabi, tetapi sebagian diriwayatkan oleh sahabat dari sahabat yang lain.

2. Peristiwa yang dialami Rasulullah Saw. sendiri.

Dalam hal ini rasul menyampaikan hadis berkatian dengan peristiwa yang dialaminya sendiri. Secara kebetulan sahabat yang menyertai rasul bisa menyampaikan kepada yang lain.

3. Sahabat bertanya.

Di antara para sahabat ada mengalami berbagai persoalan kemudian mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw. tentang bagaimana hukumnya terhadap persoalan tersebut. Kemudian Rasulullah Saw. segera memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang dialami sahabat apakah kasus yang terjadi pada diri sahabat itu sendiri maupun terjadi pada sahabat yang lain. Singkatnya, jika di antara para sahabat mengalami suatu masalah, para sahabat tidak merasa malu untuk datang secara langsung menanyakan kepada Rasulullah. Jika ada sahabat yang malu bertanya langsung kepada Rasulullah, maka sahabat tersebut mengutus sahabat lainnya untuk bertanya kepada Rasulullah.


4. Sahabat menyaksikan langsung.

Kadang-kadang ada juga sahabat yang melihat secara langsung Rasulullah Saw. melakukan satu-satu perbuatan, hal ini berkaitan dengan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan ibadah haji serta ibadah-ibadah lainnya. Para sahabat yang menyaksikan hal tersebut segera menyampaikan untuk sahabat yang lain atau generasi sesudahnya, diantaranya yaitu peristiwa yang terjadi antara Rasulullah dengan malaikat Jibril mengenai masalah iman, Islam, ihsan dan tanda-tanda hari kiamat


5. Ceramah atau pidato di tempat umum.

Melalui ceramah atau pidato di tempat yang terbuka sebagaimana ketika khutbah pada Haji Wada’. Pada saat menunaikan haji pada tahun 10 H (631 M) Nabi menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah di hadapan ribuan kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji. Isi khutbah beliau banyak terkait dengan bidang mu’amalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.

Perbedaan Tingkat Penerimaan Hadis di Kalangan Sahabat

Para sahabat memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi untuk menyampaikan sebanyak mungkin apa yang telah diajarkan oleh Nabi. Situasi dan latar belakang sosio-historis mereka masing-masing menunjukkan keragaman tingkat penerimaan hadis mereka. Sebagian ada yang tinggal di kota, sebagian lagi ada yang di kampung. Jarak mempengaruhi frekuensi pertemuan mereka dengan Nabi, sehingga juga berdampak pada banyak sedikitnya hadis yang mereka dapatkan.
Pada periode ini, terjadi perbedaan tingkat penerimaan hadis di kalangan sahabat. Sahabat satu dengan yang lain tidak sama dalam hal perolehan dan penguasaan terhadap hadis Nabi Saw. Di antara mereka ada yang memiliki banyak hadis sedang yang lain hanya sedikit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
Perbedaan frekuensi kebersamaan dengan Rasulullah Saw. Perbedaan tingkat kemampuan tulis-menulis dan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing sahabat.
Perbedaan waktu masuk Islam. Ada yang masuk Islamnya lebih awal, ada pula yang belakangan. Para sahabat yang tergolong banyak menerima hadis dari Rasulullah terdapat beberapa kelompok, di antaranya: pertama, mereka yang pertama kali masuk Islam atau yang dikenal dengan as-Sābiqūn al-Awwalūn, seperti al-Khulafā’ ar-Rāsyidūn, yaitu Abū Bakar as ̣-Ṣiddīq, ‘Umar bin Khat ̣t ̣āb, ‘Usmān bin Affān, dan ‘Alī bin Abī Ṭālib serta 'Abdullah bin Mas’ūd (w. 32 H).
Kedua, mereka yang senantiasa berada di samping Rasul dan bersungguh-sungguh menghafal hadis, seperti, Abū Hurairah (w. 59 H), atau mereka mencatatnya, seperti, ‘Abdullah bin ‘Amr bin as ̣-‘As ra. Ketiga, mereka memiliki usia panjang, seperti Anas bin Malik ra. (w. 93 H/711 M) dan Abdullah bin Abbas ra. (w. 69 H/689 M); dan keempat, mereka yang secara pribadi erat hubungannya dengan Nabi Saw. seperti, ‘Aisyah (w. 58 H/678 M) dan Ummu Salamah (w. 59 H).
Close Comments